Kamis, 13 Oktober 2011

PENGAMBILAN KEPUTUSAN OLEH KONSUMEN

BAB 3

PENDAHULUAN

Proses pengambilan keputusan oleh konsumen
            Proses pengambilan keputusan merupakan sebagai suatu hasil atau keluaran dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu menghasilkan satu pilihan final. Keluarannya bisa berupa suatu tindakan atau suatu opini terhadap suatu pilihan.

3.1Model proses pengambilan keputusan
Direktif
Pengambilan keputusan dilakukan pemimpin berdasarkan sangat sedikit (bahkan tidak sama sekali) masukan dari orang lain. Kelebihan dari model ini, proses pengambilan keputusan dapat dilakukan relative cepat. Model ini sesuai bila pemimpin adalah orang yang benar telah berpengalaman dan pernah menghadapi situasi serupa. Di sisi lain, patut dipertimbangkan bahwa kondisi nyata berubah sangat cepat. Solusi yang persis sama belum tentu sesuai untuk keadaan yang berbeda.
Parisipatif
Semua pengikut mmemberi masukan dalam diskusi dan proses pembuatan keputusan. Model ini mengakomodasi sumbangan pikiran dari semua yang akan terlibat dalam pekerjaan besar tertentu. Akan tetapi, untuk menggunakan cara ini dibutuhkan kepemimpinan yang sangat kuat karena sangat mungkin berbagai pihak saling silang pendapat sehingga proses pengambilan keputusan berlarut - larut dan tidak efektif.
Konsultatif
Merupakan kombinasi dari dua model sebelumnya di mana pemimpin hanya meminta masukan mengenai hal-hal yang dapat didiskusikan. Keputusan yang bersifat strategis (berpengaruh sangat besar dan menyangkut pencapaian visi) dilakukan oleh pemimpin. Model ini sesuai bila ingin mengefektifkan waktu pengambilan keputusan.
3.2 Tipe proses pengambilan keputusan

Keputusan Terprogram

Merupakan keputusan yang berulang dan telah ditentukan sebelumnya, dalam keputusan terprogram prosedur dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami organisasi. Keputusan terprogram memiliki struktur yang baik karena pada umumnya kriteria bagaimana suatu kinerja diukur sudah jelas, informasi mengenai kinerja saat ini tersedia dengan baik, terdapat banyak alternatif keputusan, dan tingkat kepastian relatif yang tinggi. Tingkat kepastian relatif adalah perbandingan tingkat keberberhasilan antara 2 alternatif atau lebih. Contoh keputusan terprogram adalah, aturan umum penetapan harga pada industri rumah makan dimana makanan akan diberi harga hingga 3 kali lipat dari direct cost.



Keputusan Tidak Terprogram

Keputusan ini belum ditetapkan sebelumnya dan pada keputusan tidak terprogram tidak ada prosedur baku yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Keputusan ini dilakukan ketika organisasi menemui masalah yang belum pernah mereka alami sebelumnya, sehingga organisasi tidak dapat memutuskan bagaimana merespon permasalahan tersebut, sehingga terdapat ketidakpastian apakah solusi yang diputuskan dapat menyelesaikan permasalahan atau tidak, akibatnya keputusan tidak terprogram menghasilkan lebih sedikit alternatif keputusan dibandingkan dengan keputusan terprogram selain itu tingginya kompleksitas dan ketidakpastian keputusan tidak terprogram pada umumnya melibatkan perencanaan strategik.

1.3  Faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah

1.      Tahap Identifikasi Masalah
Pada tahap ini informasi mengenai kondisi lingkungan serta organisasi di monitor untuk menentukan apakah kinerja organisasi memuaskan atau tidak, pada tahap ini juga dilakukan diagnosa penyebab terjadinya kekurangan pada organisasi, jika terjadi kemunduran kinerja.   



2.      Tahap Penyelesaian Masalah
Adalah tahap dimana terjadi pertimbangan terhadap setiap alternatif keputusan, pada tahap ini satu alternatif akan dipilih sebagai alternatif yang akan dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah yang dialami organisasi.

PEMBAHASAN

 Contoh kasus :
Penahanan yang dilakukan Polri terhadap dua Pimpinan KPK (komisi pemberantasan korupsi) non-aktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah terkait dugaan penyalahgunaan wewenang kekuasan menimbulkan gemuruh politik yang sangat keras. Berbagai lapisan masyarakat Indonesia baik masyarakat umum, mahasiswa, politikus dan tokoh masyarakat secara bertubu-tubi mengungkapkan kekecewaannya pada kepolisian, kejaksaan, bahkan pemerintah.
Permasalahan ini bila dicermati tampaknya bukan sekedar adanya kasus seorang Bibit atau Chandra. Bagi sebagian aparat hukum dan praktisi hukum mungkin saja kasus ini adalah hal biasa. Tetapi karena akumulasi berbagai ketidakpercayaan publik kepada aparat penegak hukum dan penegak keadilan di negeri ini, kasus ini menjadi luar biasa. Ketidakpercayaan yang berlarut-larut yang tidak terselesaikan inilah yang mengakibatkan kecurigaan berlebihan dari berbagai kalangan dalam menyikapi kasus ini. Apalagi dari hasil sadapan telepon oleh KPK menginterpretasikan bagaimana Anggodo sang cukong besar dengan mudahnya mengatur skenario penangkapan Bibit Chandra. Dari sinilah mulai muncul kecurigaan skenario kriminalisasi KPK. Akhirnya saat ini angin sedang berhembus di belakang KPK untuk melawan ancaman pemidanaan oleh polisi.
Bahkan presiden sebagai decision makers dengan manajemen krisisnya mencoba memberikan terobosan hukum dan politik dengan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang disebut tim delapan. Tindakan ini adalah pilihan terakhir presiden untuk menyikapi mistrust dan distrust yang sedang terjadi dalam masyarakat terhadap aparat penegak hukum di Indonesia. Tetapi tindakan inipun juga tidak sanggup meredam kegelisahan publik.

Tujuan :
untuk mengetahui bagaimana proses pengambilan suatu keputusan oleh decision makers dalam dunia nyata.

Hasil :
Penahanan yang dilakukan Polri terhadap dua Pimpinan KPK non-aktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah terkait dugaan penyalahgunaan wewenang kekuasan merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan secepatnya, karena kasus kriminalisasi KPK ini melibatkan Polri dan Kejaksaan sebagai dua organisasi penegakan hukum di Indonesia yang apabila dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan kecurigaan berlebihan dari berbagai kalangan yang pada akhirnya akan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Pada saat-saat seperti ini maka tugas seorang pemimpin, yakni Presiden Republik Indonesia (RI) untuk dapat menggunakan kewenangannya didalam pengambilan keputusan guna menyelesaikan polemik kriminalisasi KPK ini. Apabila dicermati lebih lanjut maka terdapat analogi antara Presiden RI dengan top-level manajer dari perusahaan, dimana baik itu Presiden RI dan top-level manajer suatu perusahaan merupakan seorang decision makers yang dituntut untuk melakukan pengambilan keputusan dalam  menyelesaikan permasalahan yang menimpa organisasi. Perbedaaan yang paling mendasar diantara keduanya hanyalah pada skala organisasi yang dipimpin, dimana Presiden memimpin organisasi pada level country atau state level sementara top-level-managers memimpin organisasi pada coorporate level. Sementara, alur pengambilan keputusan baik itu Presiden maupun top-level-managers akan mengikuti alur yang sama seperti yang dikemukakan pada landasan teori diatas, berikut merupakan alur yang paling mungkin dapat terjadi dalam pengambilan keputusan Presiden dalam menangani persoalan kriminalisasi KPK tersebut.

Tingginya kompleksitas dan ketidakpastian keputusan, menyebabkan terbentuknya keputusan tidak terprogram, dimana keputusan belum ditetapkan sebelumnya dan tidak ada prosedur baku yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Organisasi, dalam hal ini negara Republik Indonesia menemui masalah yang belum pernah mereka alami sebelumnya, yakni kriminalisasi KPK. Sehingga organisasi tidak dapat memutuskan bagaimana merespon permasalahan tersebut, akibatnya terdapat ketidakpastian apakah solusi yang diputuskan dapat menyelesaikan permasalahan atau tidak, yang pada akhirnya keputusan tidak terprogram menghasilkan lebih sedikit alternatif keputusan dibandingkan dengan keputusan terprogram.
Pengambilan keputusan individu menggunakan pendekatan rasionalitas yang menekankan langkah-langkah sistematis dan ilmiah dalam pengambilan keputusan (rational approach) tidak dimungkinkan untuk dilakukan dalam menyikapi permasalahan kriminalisasi KPK, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan waktu, faktor politik, tekanan masyarakat terhadap kejelasan perkara, dan keterbatasan-keterbatasan lain. Hal ini menjadikan rasionalitas menjadi terkekang dan tidak memungkinkan bagi Presiden untuk membuat keputusan individu berdasarkan rationality approach, sehingga model bounded rationality perspective menjadi alternatif bagi alur pengambilan keputusan. Sehingga pengambilan keputusan menggunakan pendekatan atau model ini lebih menekankan pada aspek intuisi, pengalaman dan penilaian (judgement) dibandingkan dengan langkah-langkah logis dan mempersingkat waktu dalam pengambilan keputusan.
Alur selanjutnya adalah pengambilan keputusan organisasi, pada level organisasi keputusan yang dibuat umumnya tidak berasal dari decision makers tapi merupakan kombinasi keputusan yang melibatkan banyak decision makers. Perkara kriminalisasi KPK memiliki karakteristik masalah sebagai berikut:

1. Menuntut solusi yang cepat
2. Sarat dengan muatan politik
3. Tekanan publik yang tinggi
4. Keterbatasan informasi terhadap permasalahan

Berdasarkan karakteristik tersebut maka pengambilan keputusan organisasi yang lebih cocok akan mengikuti Carnegie model atau Garbage can model, model Carnegie merupakan model bounded rationality perspective pada level organisasi yang menekankan pada faktor sosial dan politik, model Carnegie akan memberikan solusi tunggal terhadap permasalahan. Sementara, Garbage can model akan memberikan gambaran bagaimana alur setiap keputusan dibuat dalam organisasi secara keseluruhan dan memberikan solusi majemuk.

Tim delapan yang merupakan tim pencari fakta (TPF) pada perkara kriminilisasi KPK, menggambarkan bagaimana alur pengambilan keputusan dibuat berdasarkan Carnegie model. Tim delapan, merupakan koalisi dengan komposisi yang terdiri dari sebagian besar pakar hukum yang bertugas mengumpulkan informasi seputar permasalahan yang ada serta memberi rekomendasi solusi yang diperkirakan dapat mengatasi permasalahan kepada Presiden. Terbentuknya koalisi antar pakar hukum ini memungkinkan terjadinya diskusi, interpretasi tujuan serta permasalahan, tukar pendapat, menentukan prioritas masalah, serta dukungan secara sosial terhadap permasalahan beserta solusinya, sehingga terbentuknya koalisi akan mempermudah pencarian solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Setelah TPF memberikan rekomendasi, maka alur keputusan akan kembali lagi kepada Presiden baik itu sebagai seorang individu maupun pemimpin organisasi. Keputusan akhir dari Presiden mengenai permasalahan tersebut akan menunjukkan kapabilitas dari seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi perkara kriminalisasi KPK yang telah menjadi burning issue bagi penegakan hukum di Indonesia. Alur pengambilan keputusan ini pada umumnya akan berlangsung cepat, namun faktor internal dan eksternal yang sarat muatan politik akan menjadi hambatan yang signifikan dalam pengambilan keputusan.



PENUTUP

Kesimpulan

Proses pengambilan keputusan harusnya disiapkan dengan matang sehingga tidak terjadi kesalahan dan pengambilan keputusan yang baik setidaknya dipertimbangkan terlebih dahulu agar hasil yang diinginkan optimal.

http://semangatbelajar.com/model-pengambilan-keputusan/


Nama : Suci Amelia
NPM : 15209949
Kelas : 3ea11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar